Kawasan Danau Sentarum telah menjadi pusat perhatian ahli-ahli geologi asing sejak lebih kurang dua abad yang silam. Perhatian terhadap kekayaan, keunikan dan keindahan kawasan danau-danau yang terletak di hulu Sungai Kapuas ini semakin besar ketika zaman pemerintahan Kolonial Belanda, ini terlihat dari dikirimnya seorang komisionaris bernama Hartmann pada tahun 1823 untuk mengunjungi kawasan Danau Sentarum dan sekitarnya guna menjalin hubungan kerja sama dengan penguasa daerah setempat (Kerajaan Selimbau, Suhaid, Jongkong, Bunut dan Kerajaan kecil Piasa). Kemudian mereka membuat suatu risalah dengan para penguasa tersebut, yang diatur oleh seorang wakil residen Sintang berkebangsaan Belanda, bernama Baron van Lijnden.
Beberapa tahun kemudian, sekitar tahun 1852, seorang wanita terkenal sebagai pemimpin pergerakan feminisme yang bernama Ida Pfeiffer datang berkunjung kekawasan ini dan menceritakan tentang keunikan dan keindahan pemandangan alam di daerah Danau Sentarum ini. Kemudian pada tahun 1867, seorang pencinta alam berkebangsaan Italia yang bernama Beccari datang berkunjung ke komplek Danau Sentarum ini. Dalam penjelajahannya di daerah ini, Beccari banyak menemukan jenis-jenis tumbuhan yang mempunyai keunikan tersendiri, sehingga menimbulkan minat besar bagi para peneliti lain untuk melakukan eksplorasi kekayaan sumber daya alam yang dimiliki daerah ini, seperti pada ekspedisi Borneo yang dilakukan selama satu tahun (1893 – 1894). Kemudian berbagai kelompok pencinta alam dan pelancong, petualang maupun para peneliti ilmiah silih berganti datang ke kawasan ini. Dari hasil kegiatan tersebut mereka menuliskan laporan maupun catatan mengenai berbagai hal, termasuk menuliskan laporan mengenai jenis-jenis tumbuhan dan keragaman jenis-jenis ikan yang terdapat di daerah-daerah danau di Kapuas Hulu pada kurun waktu satu setengah abad yang lalu (Giesen. 1987).
Para peneliti dari Indonesia juga tidak mau ketinggalan dalam hal ini, dan pada tahun 1981, Fakultas Perikanan IPB melakukan studi mengenai perikanan di daerah Kapuas Hulu. Tetapi laporan tersebut hanya dipublikasikan secara terbatas. Dua tahun kemudian (1983), Ave dan kawan-kawan menerbitkan sebuah buku mengenai bibilografi Kalimantan Barat yang berisi tentang seluruh hasil kerja yang pernah dilakukan di daerah Kapuas Hulu.
Karena keanekaragaman hayatinya yang istimewa ini dan karena sifatnya yang unik pemerintah Indonesia telah menetapkan kawasan Danau Sentarum sebagai Suaka Margasatwa pada tahun 1982. Indonesia juga mengakui perana penting kawasan ini secara internasional dan mendaftarkannya sebagai lahan basah berstatus internasional pada konvensi Ramsar pada tahun 1994.
Guna melestarikan sumber daya alam yang bernilai tinggi ini Pemerintah Indonesia dan ODA dari Inggeris pada tahun 1992 s/d 1996 membentuk suatu program kerja sama dalam bidang konservasi kawasan. Meskipun program kerja sama yang dilaksanakan oleh Wetland International Indonesia Program (WI-IP) dan Dirjen PHKA dalam hal ini diwakili oleh Balai KSDA Kalimantan Barat tersebut tujuan utamanya adalah melestarikan kekayaan dan keunikan satwa liar yang terdapat dalam kawasan Danau Sentarum, namun tetap melihat bahwa kelangsungan hidup kawasan ini tidak dapat dipisahkan dengan pemanfaatan oleh penduduk setempat yang telah berlangsung secara turun temurun. Berkenaan dengan hal tersebut maka program kerjasama ini dirancang dengan memadukan antara program konservasi dengan pengetahuan serta gagasan yang dimiliki penduduk Danau Sentarum.
Untuk menuju arah pengelolaan yang dapat memadukan antara pelestarian dan pemanfaatan pada tahun 1999 status kawasan ini dirubah menjadi Taman Nasional. Dengan melakukan hal-hal tersebut pemerintah telah komitmen untuk memelihara integritas ekologis kawasan danau sentarum sepanjang masa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar