Kawasan Danau Sentarum telah menjadi pusat perhatian ahli-ahli geologi asing sejak lebih kurang dua abad yang silam. Perhatian terhadap kekayaan, keunikan dan keindahan kawasan danau-danau yang terletak di hulu Sungai Kapuas ini semakin besar ketika zaman pemerintahan Kolonial Belanda, ini terlihat dari dikirimnya seorang komisionaris bernama Hartmann pada tahun 1823 untuk mengunjungi kawasan Danau Sentarum dan sekitarnya guna menjalin hubungan kerja sama dengan penguasa daerah setempat (Kerajaan Selimbau, Suhaid, Jongkong, Bunut dan Kerajaan kecil Piasa). Kemudian mereka membuat suatu risalah dengan para penguasa tersebut, yang diatur oleh seorang wakil residen Sintang berkebangsaan Belanda, bernama Baron van Lijnden.

Para peneliti dari Indonesia juga tidak mau ketinggalan dalam hal ini, dan pada tahun 1981, Fakultas Perikanan IPB melakukan studi mengenai perikanan di daerah Kapuas Hulu. Tetapi laporan tersebut hanya dipublikasikan secara terbatas. Dua tahun kemudian (1983), Ave dan kawan-kawan menerbitkan sebuah buku mengenai bibilografi Kalimantan Barat yang berisi tentang seluruh hasil kerja yang pernah dilakukan di daerah Kapuas Hulu.
Karena keanekaragaman hayatinya yang istimewa ini dan karena sifatnya yang unik pemerintah Indonesia telah menetapkan kawasan Danau Sentarum sebagai Suaka Margasatwa pada tahun 1982. Indonesia juga mengakui perana penting kawasan ini secara internasional dan mendaftarkannya sebagai lahan basah berstatus internasional pada konvensi Ramsar pada tahun 1994.

Untuk menuju arah pengelolaan yang dapat memadukan antara pelestarian dan pemanfaatan pada tahun 1999 status kawasan ini dirubah menjadi Taman Nasional. Dengan melakukan hal-hal tersebut pemerintah telah komitmen untuk memelihara integritas ekologis kawasan danau sentarum sepanjang masa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar